Paradigma IPS di Indonesia


PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pada hakikatnya perkembangan manusia mulai saat lahir sampai menjadi dewasa tak dapat terlepas dari masyarakat. Oleh karena itu pengetahuan sosial dapat dikatakan tak asing bagi tiap orang. Sejak bayi telah melakukan hubungan dengan orang lain terutama dengan ibunya dan dengan anggota keluarga yang lainnya. Meskipun dengan sepihak. Hubungan sosial itu telah terjadi, Tanpa hubungan sosial bayi tidak akan mampu berkembang menjadi manusia biasa.
Pengalaman manusia diluar dirinya tak hanya terbatas hanya dalam keluarga tapi juga meliputi teman sejawat, warga kampung, dsb. Hubungan sosial yang dialami makin meluas. Dari pengalaman dan pengenalan dan hubungan sosial tersebut dalam diri seseorang akan tumbuh pengetahuan. Pengetahuan yang melekat pada diri seseorang termasuk pada diri orang lain dpat terangkum dalam “ Pengetahuan sosial “ . Segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan manusia telah membentuk pengetahuan sosial dalam diri kita masing-masing. Kehidupan sosial manusia di masyarakat beraspek majemuk yang meliputi aspek hubungan sosial, ekonomi , sosial budaya , politik ,psikologi , sejarah , geografi.
Beraspek majemuk berarti kehidupan sosial meliputi berbagai segi yang berkaitan satu sama ain. Bukti adalah manusia sebagai multi aspek, kehidupan sosial yang merupakan aspek-aspek ekonomi adalah sandang, papan ,pangan , merupakan kebutuhan manusia.
Kehidupan manusia tak hanya terkait dengan aspek sejarah tetapi juga tentang dengan aspek ruang dan aspek tempat. Sering kita di tanya “ Kapan kamu lahir dan dimana kamu lahir “ ini menunjukkan bahwa ruang atau tempat memiliki makna tersendiri bagi kehidupan kita manusia. Karena setiap aspek kehidupan sosial itu mencakup lingkup yang luas untuk mempelajari dan menkajinya menuntut bidang-bidang ilmu yang khusus.
Melalui ilmu-ilmu sosial di kembangkan bidang-bidang ilmu tertentu sesuai dengan aspek sosial kehidupan masing-masing.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa paradigma IPS itu?
2.      Bagaimana paradigma IPS di Indonesia?
3.      Bagaimana paradigma IPS di luar negeri?

C.    Tujuan
1.      untuk mengetahui pengertian paradigma IPS.
2.      untuk mengetahui paradigma IPS di Indonesia dan di luar negeri.

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PARADIGMA
Istilah “Paradigma” pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structurre of Scientific Revolution (1970 : 49). Inti sari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

B.     PARADIGMA IPS
Paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan Indonesia, dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial. Ada tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu: Ilmu Sosial ( Social Sciences ), Studi Sosial ( Social Studies ), dan Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ). Selain istilah tersebut ada juga istilah yang kadang-kadang digunakan dalam menyebut bidang studi IPS, yaitu: Social Education dan Social Learning, yang menurut Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan kepada berbagai pengalaman disekolah yang dipandang dapat membantu anak didik untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.
A.    Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
IIS lebih menitik beratkan kepada interdisiplin pada suatu bidang studi kajian disatu disiplin ilmu, seperti contoh pada disiplin ilmu Antropologi.

B.     Studi Sosial (Social Studies).
Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar dan dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin ilmu sosial. Studi Sosial merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.
Studi Sosial menurut Achmad Sanusi:
“Adapun Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universiter, bahkan dapat merupakan bahan-bahan pelajaran bagi murid-murid sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu Sosial. Studi Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut komprehensif mungkin.”
Studi Sosial menurut John Jarolimek:
“Tugas Studi Sosial sebagai suatu bidang studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social, serta membantu melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social yang dihadapainya. Jadi, baik materi maupun metode pembelajaran penyajiannya harus sesuai dengan misi yang diembannya.”

C.     Pengetahuan Sosial (IPS)
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
IPS lebih menitik beratkan kepada pendekatan multidisipliner  atau interdisipliner, dimana topik-topik dalam IPS dapat dimanipulasi menjadi suatu isu, pertanyaan atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin.Ilmu pengetahuan IPS yg dikenal di Indonesia bukan Ilmu Sosial. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS pada berbagai tingkat pendidikan tidak  akan menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, melainkan lebih menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah serta mengkaji gejala dan masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan tingkatan peserta didik pada tiap jenjang.
Pendekaatan yang dilakukan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi Sosial bersifat interdisipliner atau multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial ( Social Sciences ) bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social Studies (NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935. dalam pertemuan ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu menempatkan bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang “social studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose yang artinya bahwa “The Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya ketakmenentuan ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan terutama pada tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies” mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh “social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa “Social Studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan siswa.
 Oleh karena itu, sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan Social Studies kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus pembelajaran Social Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya mentransformasikan “Social Studies” ke dalam “Social Science” dan mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah. Gerakan inilai yang mendorong berdirinya The Social Science Education Concortium ( SSEC ) yang kemudian menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan interdisipliner. Definisi “Social Studies” dan pengidentifikasian “Social Studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari “Social Studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama Social Studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social Studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber utama kontek Social Studies adalah social sciences dan humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat dari karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau Social Studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya. Pada tahun 1992, The Board of Directors of The National Council fot The Social Studies mengadopsi visi terbaru mengenai Social Studies yang kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence; Curricullum Standars for Social Studies.           

 C.    PARADIGMA PENDIDIKAN IPS di INDONESIA
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua alasan.
1.     Di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota masih insidental.
2.       Perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.
Sedangkan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni
(1)   Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS;
(2)   Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan;
(3)  Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.

Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah.
Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni:
(1)   Pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial;
(2)   Pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata  
       pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan
(3)   Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.

Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
(1)   Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission;
(2)    Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar;
(3)   Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan
(4)  Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976).

Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila. Didalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam:
1.       pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI;
2.       pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.

Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science (Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30).
Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni:
1.       Pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional;
2.       Pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.

Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni :
1.       PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan.
2.       PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.

PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni:
1)         PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia.
2)         PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU.

Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah-ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Jika dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.

D.    PARADIGMA PENDIDIKAN di LUAR NEGERI
Berikut paradigma pendidikan IPS di beberapa Negara :
1. Amerika Serikat
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun 1861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa. Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics. Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/mendidik). Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu- ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu- ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial). Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut: Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world.

2.      Inggris
Sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga di latarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies.
Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.

3.      New Zealand
Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga mengembangkan delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang juga diajarkan pada semua mata pelajaran dan  pada semua  jenjang pendidikan di New Zealand, meliputi :
a.       Komunikasi
b.      Kemampuan dalam matematika
c.       Informasi
d.      Pemecahan masalah
e.       Manajemen diri dan kompetitif
f.       Sosial dan koperasi
g.      Phisik
h.      Pekerjaan dan studi

Kedelapan kemampuan esensial (essential skills) tersebut diramu dalam proses belajar PIPS melalui inkuiri, penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan sosial (social decision making).

4.      Kanada
Curriculum Canada Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Canada merupakan bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang refresentatif dari berbagai sektor masyarakat skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuan nya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS. Di dalam kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core curicullum yaitu :
1)   Required Areas of Study dan Common Essential Learning. Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas of Study menjadi tujuh yaitu : language Art, Mathematics, Science, Social studies, Health education, art education dan physical education.
2)   Pengembangan Common essential learning (CELS) atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi enam kemampuan, yaitu Komunikasi (communication), difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di dalam setiap bidang studi. Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang studi. Melek teknologi (technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya yang mereka bentuk. Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral. Belajar mandiri (independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga. Dalam kurikulum Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (Required Areas of Study). Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi, nilai dan keterampilan personal dan sosial,  dan belajar mandiri sebagai Common essential learning (CELS).

5.      Hongkong
Curriculum Hongkong Arti Pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, daya raga. Kesanggupan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap penting oleh siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah kecepatan, kecekatan, dan ketepatan orang yang terampil mengerjakan sesuatu adalah orang cepat, cekat, dan tepat dalam mengerjakan sesuatu.
Tujuan pendidikan Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun progresif. Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan dirinya. Lebih spesifiknya, pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan hidup memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan nilai (logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos) sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang dapat memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang penuh persaingan dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi , misal menjaga kesehatan mental dan fisik mencari nafkah, dan memilih serta mengembangkan karir.

PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Inti sari pengertian paradigma adalah suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS dan merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial
Konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “Social Studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang sosial. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies ( NCSS ).
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975 menampilkan empat profil yakni:
1.       Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara;
2.       Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar;
3.      Pendidikan IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan
4.    Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Konsep pendidikan IPS diluar negeri seperti Amerika Serikat upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Di Inggris memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah dengan harapan agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat.
Kemudian di New Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu sosial dan mengembangkan delapan ketrampilan penting yang diajarkan pada semua mata pelajaran dan  pada semua  jenjang pendidikan, meliputi: Komunikasi, Kemampuan dalam matematika, Informasi, Pemecahan masalah, Manajemen diri dan kompetitif, Sosial dan koperasi, Phisik, Pekerjaan dan studi. Di Kanada kurikulum dikembangkan dengan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level. Di Hongkong pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. Tujuannya untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun progresif.

B.   SARAN
Perlunya belajar ips untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar serta  berfikir logis, kristis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, keterampilan dan kehidupan sosial.
Newest
Previous
Next Post »

3 komentar

Click here for komentar
Unknown
admin
21 September 2020 pukul 21.24 ×

Maksih ya penulis. Maaf izi sudah copas.

Reply
avatar
16 Oktober 2020 pukul 12.41 ×

boleh minta daftar pustaka tulisan ini?

Reply
avatar
Eva yuliana
admin
7 November 2021 pukul 13.29 ×

Izin copy materinya Mas,Maaf dn terimaksih.

Reply
avatar