PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya perkembangan manusia mulai saat
lahir sampai menjadi dewasa tak dapat terlepas dari masyarakat. Oleh karena itu
pengetahuan sosial dapat dikatakan tak asing bagi tiap orang. Sejak bayi telah melakukan hubungan dengan orang
lain terutama dengan ibunya dan dengan anggota keluarga yang lainnya. Meskipun
dengan sepihak. Hubungan sosial itu telah terjadi, Tanpa hubungan sosial bayi
tidak akan mampu berkembang menjadi manusia biasa.
Pengalaman manusia diluar dirinya tak hanya terbatas
hanya dalam keluarga tapi juga meliputi teman sejawat, warga kampung, dsb.
Hubungan sosial yang dialami makin meluas. Dari pengalaman dan pengenalan dan
hubungan sosial tersebut dalam diri seseorang akan tumbuh pengetahuan.
Pengetahuan yang melekat pada diri seseorang termasuk pada diri orang lain dpat
terangkum dalam “ Pengetahuan sosial “ . Segala peristiwa yang dialami dalam
kehidupan manusia telah membentuk pengetahuan sosial dalam diri kita
masing-masing. Kehidupan sosial manusia di masyarakat beraspek majemuk yang
meliputi aspek hubungan sosial, ekonomi , sosial budaya , politik ,psikologi ,
sejarah , geografi.
Beraspek majemuk berarti kehidupan sosial meliputi berbagai
segi yang berkaitan satu sama ain. Bukti adalah manusia sebagai multi aspek,
kehidupan sosial yang merupakan aspek-aspek ekonomi adalah sandang, papan
,pangan , merupakan kebutuhan manusia.
Kehidupan manusia tak hanya terkait dengan aspek
sejarah tetapi juga tentang dengan aspek ruang dan aspek tempat. Sering kita di
tanya “ Kapan kamu lahir dan dimana kamu lahir “ ini menunjukkan bahwa ruang
atau tempat memiliki makna tersendiri bagi kehidupan kita manusia. Karena
setiap aspek kehidupan sosial itu mencakup lingkup yang luas untuk mempelajari
dan menkajinya menuntut bidang-bidang ilmu yang khusus.
Melalui ilmu-ilmu sosial di kembangkan bidang-bidang
ilmu tertentu sesuai dengan aspek sosial kehidupan masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa paradigma IPS
itu?
2.
Bagaimana paradigma
IPS di Indonesia?
3.
Bagaimana paradigma
IPS di luar negeri?
C.
Tujuan
1.
untuk mengetahui
pengertian paradigma IPS.
2.
untuk mengetahui
paradigma IPS di Indonesia dan di luar negeri.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PARADIGMA
Istilah “Paradigma”
pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama dalam kaitannya
dengan filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan
istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam
bukunya yang berjudul The Structurre of
Scientific Revolution (1970 : 49). Inti sari pengertian paradigma adalah
suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
B.
PARADIGMA IPS
Paradigma IPS adalah model atau kerangka berpikir
pengembangan IPS yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan
Indonesia,
dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan
merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial. Ada tiga
istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu: Ilmu Sosial ( Social Sciences ), Studi Sosial ( Social Studies ), dan Ilmu Pengetahuan
Sosial ( IPS ). Selain istilah
tersebut ada juga istilah yang kadang-kadang digunakan dalam menyebut bidang
studi IPS, yaitu: Social Education
dan Social Learning, yang menurut
Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan kepada berbagai pengalaman
disekolah yang dipandang dapat membantu anak didik untuk lebih mampu bergaul di
tengah-tengah masyarakat.
A. Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi
memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai
berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang
bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin
lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross
(Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang
mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada
manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia
bentuk.
Nursid Sumaatmadja,
menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh
karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
IIS lebih menitik beratkan kepada interdisiplin pada
suatu bidang studi kajian disatu disiplin ilmu, seperti contoh pada disiplin
ilmu Antropologi.
B. Studi Sosial (Social Studies).
Berbeda dengan Ilmu
Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin
akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan
masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi
penjelasan sebagai berikut : Studi Sosial tidak selalu bertaraf
akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan
dasar dan dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan kepada
disiplin-disiplin ilmu sosial. Studi Sosial merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.
Studi Sosial menurut
Achmad Sanusi:
“Adapun Studi Sosial
tidak selalu bertaraf akademis-universiter, bahkan dapat merupakan bahan-bahan
pelajaran bagi murid-murid sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi
selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu
Sosial. Studi Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul
atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan
meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan
yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut
komprehensif mungkin.”
Studi Sosial menurut
John Jarolimek:
“Tugas Studi Sosial
sebagai suatu bidang studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu
menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social,
serta membantu melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social yang
dihadapainya. Jadi, baik materi maupun metode pembelajaran penyajiannya harus
sesuai dengan misi yang diembannya.”
C. Pengetahuan Sosial (IPS)
Pada dasarnya Mulyono
Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan
interdsipliner (Inter-disciplinary
Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai
cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi
sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi
atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi,
sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
IPS lebih menitik beratkan kepada pendekatan
multidisipliner atau interdisipliner,
dimana topik-topik dalam IPS dapat dimanipulasi menjadi suatu isu, pertanyaan
atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin.Ilmu pengetahuan IPS yg
dikenal di Indonesia bukan Ilmu Sosial. Oleh karena itu, proses pembelajaran
IPS pada berbagai tingkat pendidikan tidak
akan menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, melainkan lebih
menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah serta mengkaji gejala dan
masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan tingkatan peserta didik pada
tiap jenjang.
Pendekaatan yang
dilakukan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan
dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi Sosial bersifat interdisipliner atau
multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial ( Social Sciences ) bersifat disipliner dari bidang ilmunya
masing-masing.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang
di Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi
akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social Studies (NCSS) pada tanggal 20-30
November 1935. dalam pertemuan ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu menempatkan
bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar
historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi
tentang “social studies” yang berawal
dari Edgar Bruce Wesley yaitu The Social
Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose yang artinya
bahwa “The Social Studies” adalah
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian
dikembangkan bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu
ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan
filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa
bahwa bidang social studies mengalami
perkembangan dengan adanya ketakmenentuan ketakberkeputusan, ketakbersatuan,
dan ketakmajuan terutama pada tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam
menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies” mendapat serangan dari segala penjuru yang pada
dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para
pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam
pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam
bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu
sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh “social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan
dana yang sangat besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli
bekerja sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut
dikenal sebagai gerakan “The New Social
Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk
mendapatkan The New Social Studies
ini belum menjadi kenyataan. Isu yang terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan
pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi pembelajaran.
Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies,
disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu
sosial untuk tujuan citizenship education
dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu
sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social
studies education. Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang
dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan
pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari opini publik
berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta kritik
publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan
kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social
Studies yang menjadi pilar dari perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa “Social Studies” sebelumnya dinilai
sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan
siswa.
Oleh karena itu,
sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan Social Studies kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit
yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka
dimulailah era modus pembelajaran Social
Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya
mentransformasikan “Social Studies”
ke dalam “Social Science” dan
mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah. Gerakan inilai yang
mendorong berdirinya The Social Science
Education Concortium ( SSEC )
yang kemudian menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada
disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan
interdisipliner. Definisi “Social Studies”
dan pengidentifikasian “Social Studies”
atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari “Social Studies” pada tahun 1970-an.
Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama Social
Studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social
Studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis, ketiga sumber utama kontek Social Studies adalah social sciences
dan humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis
(Barr dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang
sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat dari
karakteristik dan tujuannya, Social
Studies Education atau Social Studies
yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan
kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic
Responsibility and Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya.
Pada tahun 1992, The Board of Directors
of The National Council fot The Social Studies mengadopsi visi terbaru
mengenai Social Studies yang kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada
tahun 1994 dengan judul Expectations of
Excellence; Curricullum Standars for Social Studies.
C. PARADIGMA PENDIDIKAN IPS di INDONESIA
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia
banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social
studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki
pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu.
Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu
seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain
dipublikasikan oleh National Council for
the Social Studies (NCSS).
Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep
pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah
karena dua alasan.
1. Di Indonesia belum ada lembaga
professional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC.
Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana
pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan produktivitas
akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan
dan komunikasi antar anggota masih insidental.
2. Perkembangan kurikulum dan pembelajaran
IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat
tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi
secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat
pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur).
Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang
kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh
berbeda dengan peranan dan kontribusi Social
Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai
pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS
dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan
penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat
ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul
dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social,
dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah
social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami
siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah
sosial sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam
kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar
tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS
yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama
dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan
pengertian social studies dari Edgar
Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan
kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima
dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia
persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali
kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di
Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih
Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan
Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum
tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu.
Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep
pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam
Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan
Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi
Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh
karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan
Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan
sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah
Komprehensif”.
Sedangkan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun,
digunakan tiga istilah yakni
(1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai
bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang
terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major
pada jurusan IPS;
(2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan;
(3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar
kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya
kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah.
Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam
tiga bentuk yakni:
(1) Pendidikan IPS terintegrasi dengan nama
Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial;
(2) Pendidikan IPS terpisah, dimana istilah
IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata
pelajaran geografi, sejarah dan
ekonomi; dan
(3) Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu
bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi
terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang
dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS
menampilkan empat profil, yakni:
(1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai
suatu
bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi
citizenship traansmission;
(2) Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar;
(3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep
payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan
(4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah,
geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P
dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976).
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan
dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan
dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi
materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin,
seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai
materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu
sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian
kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika
ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut
dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang
pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan
muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan
menggunakan pendekatan spiral of concept
development ala Taba (Taba:1967) dan expanding
environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing
sila Pancasila. Didalam Kuikulum 1994 mata pelajaran
PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa
setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan
dalam:
1. pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI;
2. pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi,
sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang
mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr
dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri
atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II;
Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya
di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi
di kelas III Program IPS.
Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social
memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat
masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air
serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan
hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi
tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau
tradisi “citizenship transmission”
(Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk
memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya
dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan
objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi
bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan
teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi
yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat
ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum
maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science
(Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30).
Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional
yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi
serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan
lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara
menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami
penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan
negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem
pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan
tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk
menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada
masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan
menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud,
1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan
tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya
kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari;
menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa,
terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan
kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan
masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat
(Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS
yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan
IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni:
1. Pendidikan IPS di Indonesia yang
diajarkan dalam tradisi “citizenship
transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional;
2. Pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi social science dalam bentuk
pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang
terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu
(Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang
sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang
pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di
sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran
yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang
membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran
sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan
kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai
akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan
kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh,
persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan
peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya
reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru
agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi
interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang.
Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana
serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247)
menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan
ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola
pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial
dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di
Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni :
1. PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan
dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan.
2. PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada dasarnya merupakan
penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari
limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan
pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi
atau tradisi akademik pedagogis yakni:
1)
PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk
mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia.
2)
PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata
pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk
SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU.
Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan
UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau
“Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang
dikemas sebagai “citizenship education”
atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari
tujuan, konten dan proses social studies
atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi
merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem
pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah
menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang
ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini,
sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang
sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia
dikenal dalam label yang berubah-ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Jika dikaji dengan
cermat dalam konteks perkembangan social
studies ternyata citizenship
education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga negara agar
mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak
sejak social studies mulai
diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya tentang social studies dianggap sebagai pilar
epistemologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari
NCSS tahun 1994. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan
demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.
D. PARADIGMA
PENDIDIKAN di LUAR NEGERI
Berikut paradigma pendidikan IPS di
beberapa Negara :
1.
Amerika Serikat
Pada awalnya penduduk
Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah
berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan
Perang Budak yang berlangsung tahun 1861-1865 di mana pada saat itu Amerika
Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan,
karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang
multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu
cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum
sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan
penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association
memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam
kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun
wujud social studies ketika lahir
merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics. Jadi
Social studies yang dalam istilah
Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi
terdapat dalam ”The National Herbart
Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting
the social sciences for pedagogical
use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social
studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris
dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on
Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee
on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa
social studies sebagai specific field to
utilization of social sciences data as a force in the improvement of human
welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu- ilmu sosial sebagai
tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya
melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa
kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu- ilmu sosial
di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa
diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk
organisasi profesi social studies.
Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National
Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang
secara khusus membina dan mengembangkan social
studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya
dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program
pendidikan syntectic. Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai
organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan
kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah
14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam
perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap
pendidikan anak tentang social studies,
dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada
pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan
menegaskan bahwa “Social sciences as the
core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian
social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi
yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences
simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer
saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard
terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan
definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi,
dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS
merumuskan social studies sebagai berikut: Social
studies is the integrated study of the social sciences and humanities to
promote civic competence. Within the school program,social studies provides
coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as antrophology,
archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science,
psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the
humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and
reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally
diverse,democratic society in an interdependent world.
2.
Inggris
Sebagai reaksi para
pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat,
pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga di latarbelakangi oleh
keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies.
Hal ini disebabkan
mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa:
menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak
dan kewajibannya; dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti
memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu
Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal
pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain
dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan
siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan
program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar
materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh
siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata
di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman
pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para
siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
3.
New Zealand
Kurikulum Berbasis
Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu
sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga mengembangkan
delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang juga diajarkan pada semua
mata pelajaran dan pada semua jenjang pendidikan di New Zealand, meliputi :
a.
Komunikasi
b.
Kemampuan dalam
matematika
c.
Informasi
d.
Pemecahan masalah
e.
Manajemen diri dan
kompetitif
f.
Sosial dan koperasi
g.
Phisik
h.
Pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan
esensial (essential skills) tersebut diramu dalam proses belajar PIPS melalui
inkuiri, penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan
sosial (social decision making).
4.
Kanada
Curriculum Canada
Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Canada merupakan
bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang
dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai
dengan penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas
terdiri dari orang-orang refresentatif dari berbagai sektor masyarakat
skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuan nya
dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS.
Di dalam kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan
dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari
jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core curicullum yaitu :
1) Required Areas of Study dan Common Essential Learning. Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas of Study menjadi tujuh
yaitu : language Art, Mathematics,
Science, Social studies, Health education, art education dan physical
education.
2) Pengembangan Common essential learning (CELS) atau kompetensi yag harus
dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi enam
kemampuan, yaitu Komunikasi (communication),
difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di
dalam setiap bidang studi. Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan
kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di
dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para
siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi
gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing
bidang studi. Melek teknologi (technology
literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan
integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya
yang mereka bentuk. Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills
berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah
dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih
dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan
moral. Belajar mandiri (independent learning),
melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman
yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable),
percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat
belajar sebagai kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata
pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (Required Areas of Study). Dimana dalam
social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk berkomunikasi,
matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi, nilai dan
keterampilan personal dan sosial, dan
belajar mandiri sebagai Common essential
learning (CELS).
5.
Hongkong
Curriculum Hongkong
Arti Pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan
keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup
dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, daya raga.
Kesanggupan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap
penting oleh siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah kecepatan, kecekatan,
dan ketepatan orang yang terampil mengerjakan sesuatu adalah orang cepat,
cekat, dan tepat dalam mengerjakan sesuatu.
Tujuan pendidikan
Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan
nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun
progresif. Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah mempersiapkan
peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang
diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan dirinya. Lebih spesifiknya,
pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan hidup memberdayakan aset kualitas
batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan nilai
(logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos) sehingga dapat
digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal dasar dan
latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang
dapat memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang penuh
persaingan dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta didik dalam
memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi
, misal menjaga kesehatan mental dan fisik mencari nafkah, dan memilih serta
mengembangkan karir.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inti sari pengertian
paradigma adalah suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Sedangkan paradigma IPS adalah model atau
kerangka berpikir pengembangan IPS dan merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau
manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu sosial
Konsep pendidikan IPS
di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “Social Studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara
yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam
bidang sosial. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies
( NCSS ).
Konsep IPS untuk
pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973,
yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975
menampilkan empat profil yakni:
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan
Pendidikan Kewargaan Negara;
2. Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar;
3. Pendidikan IPS terkonvederansi untuk
SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran
Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan
4. Pendidikan IPS terpisah-pisah yang
mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah
dan geografi untuk SPG.
Konsep pendidikan IPS
diluar negeri seperti Amerika Serikat upaya melestarikan program pendidikan IPS
dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian
terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya
agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat
sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Di Inggris
memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah dengan harapan agar materi
pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa
sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di
lingkungan masyarakat.
Kemudian di New
Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu sosial dan mengembangkan delapan
ketrampilan penting yang diajarkan pada semua mata pelajaran dan pada semua
jenjang pendidikan, meliputi: Komunikasi, Kemampuan dalam matematika,
Informasi, Pemecahan masalah, Manajemen diri dan kompetitif, Sosial dan
koperasi, Phisik, Pekerjaan dan studi. Di Kanada kurikulum dikembangkan dengan
core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi landasan
pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level. Di Hongkong pendidikan
Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang
diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan
dirinya. Tujuannya untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai
kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun progresif.
B. SARAN
Perlunya belajar ips
untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar serta berfikir logis, kristis, rasa ingin tahu,
memecahkan masalah, keterampilan dan kehidupan sosial.
3 komentar
Click here for komentarMaksih ya penulis. Maaf izi sudah copas.
Replyboleh minta daftar pustaka tulisan ini?
ReplyIzin copy materinya Mas,Maaf dn terimaksih.
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon